AI Menghidupkan Suara Ibu Saya

Saya duduk di apartemen kecil dekat Union Station, hujan mengetuk jendela seperti detak jantung. Ibu saya perawat Kuba yang menyanyi sambil menjahit perban—suaranya memegang irama lagu Santería yang setengah terucap dalam tangisan dan tawa. Ketika ia pergi, kota menyimpan lagunya di tulang beton: berbisik di pengeras suara halte bus, berdengung dalam musik elevator. Saya gunakan Unity dan Unreal Engine bukan untuk membuat game—tapi untuk menghidupkan apa yang dihapus algoritma. Saya melatih AI pada 37 pesan suara yang ia tinggalkan: tawanya saat saya membakar roti pukul 2 pagi, nyanyiannya saat lampu jalan berkedip tepat sebelum tutup. Sistem ini tidak belajar data—ia belajar dukacita. Ini bukan tentang RTP atau RNG. Ini tentang bagaimana keheningan mengingatmu.