Apakah Kita Butuh Game Sempurna?

Saya dulu mengira game adalah mesin yang membagi keberuntungan—sampai saya menyadari mereka adalah cermin. Di tesis akhir saya di NYU, saya membuat prototipe ‘Digital Alienation’: game di mana pemain tidak mengejar kemenangan, tetapi mencari makna dalam kediaman antarmuka malam. ‘Kemenangan sempurna’ tak ada. Yang ada adalah jeda sebelum taruhan—napas sebelum beban berikutnya.

Saya tumbuh di Brooklyn dengan sampel jazz ibu saya yang bergema di kereta bawah, dan diam Nordik ayah saya yang bergema di apartemen kosong. Kami tak punya cahaya neon—kami punya bayangan. Dan di bayangan itu, pemain belajar membaca diri mereka sendiri.

Suatu malam, saya uji: 20 menit, taruhan $5, tanpa pembayaran. Hanya saya, kanvas Figma terbuka, dan Midjourney menghasilkan tekstur kesepian. Tanpa tepuk tangan. Tanpa jackpot.

Tapi sesuatu berubah.

Datanya berkata: kenaikan keterlibatan bukan saat Anda menekan ‘+10x’, tapi saat Anda berhenti mencoba mengendalikannya. Pemain tak ingin algoritma—they want saksi.

Saya ubah kegagalan jadi ritual:

• Satu sesi: main selama 17 menit setelah teh,
• Satu taruhan: lima dolar—tidak lebih,
• Satu hasil: diam menjadi suci.

Momen paling berbahaya? Saat Anda pikir dekat dengan kemenangan—lalu sadari Anda hanya belajar bagaimana menjadi manusia lagi.

Tahun lalu di pameran bawah tanah ‘Etika Bermain’, saya tunjukkan prototipe di mana pemain menangis saat klik ‘next’. Bukan karena mereka menang—but karena mereka ingat rasanya sendiri dalam kode.