Apakah Kita Butuh Game Sempurna?

Saya dulu berpikir game dirancang untuk kegembiraan—sampai saya menyadari mereka dirancang untuk membuat kita hampa. Ibu saya, tumbuh di jazz tengah malam Harlem, dan ayah saya di keheningan Stockholm, mengajarkan bahwa setiap putaran bukan keberuntungan—tapi ritual. Di cahaya neon aplikasi kasino, pemain tidak mengejar jackpot—mereka mengejar gema dari diri yang telah berhenti mengenali. Saya membangun prototipe game eksperimental—altar digital di mana simbol bukanlah hamburan atau lempar, tapi fragmen duka yang tak terucap. RTP tinggi (96%), ya—but begitu pula alienasinya. Kita diberitahu ‘main secara bertanggung jawab,’ sementara RNG memutar harapan kita dalam lingkaran yang tak ada yang bisa pecah. Di ‘Surga Cahaya,’ pemain menyetor $800 menanti kembang api. Tapi bagaimana jika cahaya hanyalah refleksi LED? Bagaimana jika putaran gratis bukanlah bonus—tapi permintaan maaf dari sistem yang tak pernah bertanya apakah Anda ingin dilihat? Saya mewawancarai tiga mantan pemain di ruang hidup Brooklyn. Satu berkata: ‘Saya bermain selama dua tahun sampai tangan saya berhenti bergerak.’ Lainnya: ‘Jackpot tak datang. Tapi saya terus memutar… karena rasanya seperti berjalan sendirian di atas karpet merah.’ Kami menyebutnya ‘narasi imersif’—tapi siapa yang memilih ceritanya? Algoritma tak peduli jika Anda merasa apa-apa. Ia hanya peduli jika Anda klik. Ketika saya meluncurkan proyek indie saya—’Alienasi Digital: Sebuah Game Sunyi’—tak ada yang membelinya. Tapi lima orang menangis. Mungkin kesempurnaan bukan tujuannya. Mungkin kehadiranlah yang penting.