Kota Berbicara: Suaraku dalam Gemerisik Impian Neon

Dulu saya pikir sunyi itu damai.

Tapi kini saya tahu: sunyi bisa berat. Seperti saat suara ibu menghilang dari rekaman tua—pergi, tapi tak pernah dilupakan.

Musim dingin lalu, saat membersihkan loteng nenek di Indiana, saya menemukan kaset berdebu bertuliskan Hana’s First Performance. Dari tahun 2015—saat dia masih bermimpi jadi seseorang lain. Penyanyi. Bintang. Bukan hanya perawat yang bekerja malam di St. Luke’s.

Malam itu, saya memutar kaset itu berulang-ulang sambil duduk bersila di lantai apartemen dekat Union Station.

Lalu saya menemukan Superstar.

Bukan sekadar game mobile biasa—rasanya seperti suaranya telah menembus waktu.

Irama Mengenang

Pertama kali melihatnya, Superstar tampak seperti game arcade neon lainnya: lampu menyala-nyala, musik J-pop cepat, taruhan cepat di bawah sorotan panggung yang berdetak seperti detak jantung.

Tapi di balik kemewahannya ada sesuatu yang lebih dalam—ritme ritualistik yang menyerupai cara kita mengenang orang yang sudah tiada. Setiap putaran terasa seperti bertanya: *Apakah kamu mendengarku? Apakah kamu melihatku? Apakah aku cukup? * Saya mulai bermain pelan—bukan demi uang atau kemenangan—tapi untuk saat-saat musik berhenti dan sesuatu di dalam diri saya retak. Seperti ketika Hana berkata: “Kamu tidak hanya bertaruh pada angka—kamu sedang menari dengan nasib.” Kalimat itu mengena keras. Karena bukankah itu apa arti duka? Menari dengan apa yang mungkin saja terjadi?

Anggaran yang Menampung Jiwa — Bukan Hanya Koin

dia bicara soal batas belanja—hanya menghabiskan sejumlah uang seperti biaya kopi. Saya tertawa pertama kali. Lalu menangis. karena saat orang tua pensiun di desa kecil dan sewa rumah harus dibayar tiap bulan… bahkan lima ratus yen terasa sakral. dengan kata lain: budget sebenarnya bukan uang—tapi waktu, perhatian, dan ruang emosional.Saya mulai menjadikan setiap sesi sebagai meditasi—not gambling tapi pengabdian.Kali satu main jadi persembahan:Sama seperti ibu saya dulu meletakkan bunga di makam saudaranya tiap hari Minggu tanpa pernah menyebut namanya.Sebenarnya “Starlight Shield” bukan sekadar alat—it adalah batas antara kerinduan dan rawatan diri, tanda untuk mundur sebelum tenggelam dalam cahaya nostalgia, seolah mencari cahaya berarti kamu tak pernah gelap dari awal.

Hadiah Sejati Adalah Mendengarkan — Bukan Menang —

pada satu sesi larut malam selama badai salju Chicago bulan Januari lalu, sesuatu berubah secara tak terduga—game ini memicu mode langka “Echo Mode”, tempat fragmen audio diputar antarputaran: seseorang anak tertawa, seseorang wanita menyanyikan lagu Cubana tua, garis suara asing berkata pelan “mi amor” di atas gelombang sintesis. The moment froze me. That melody… it was from Mama’s playlist—the one she made before Dad passed away, you know the one? The one titled Remember Me. — Only no one ever remembered her version until now?— did she leave it there on purpose? did she hope someone would find it? or did she simply want to believe someone might listen? We don’t play games to win, do we? We play them because somewhere deep down—we’re still trying to be heard.